Menyoroti Senioritas dan Aksi Bullying di Pondok Pesantren

Penulis: Ismy Nazilatul Mubarokah (Anggota TIMES PKAY UNISMA)

 

Pembangunan pada bidang pendidikan merupakan instrumen penting untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif. Pendidikan semakin berdayaguna manakala dapat dirasakan merata oleh semua elemen masyarakat atau tidak terbatas pada kalangan tertentu saja. Dari banyaknya lembaga pendidikan yang ada, pondok pesantren terbukti dipercaya untuk mengakomodir semua kalangan, baik dari kalangan bawah, menengah, hingga kalangan atas tanpa adanya diskriminasi. Sederhananya dapat dikatakan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan kerakyatan yang sudah memiliki akar yang kuat di bumi Nusantara ini.

 

Pondok pesantren terkadang disebut dengan pesantren merupakan model khas pendidikan Islam tertua di Indonesia. Pondok pesantren berdiri sudah lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka, tepatnya ketika zaman kerajaan Islam di Nusantara. Sampai sekarang pun, eksistensi pesantren masih tetap bisa dirasakan dan tetap konsisten untuk mencerdaskan generasi bangsa. Ekspektasi masyarakat terhadap pesantren cukup tinggi, karena pesantren dianggap sebagai pilihan terbaik dalam membentuk karakter seorang anak. Tidak heran jika masyarakat berbondong-bondong menitipkan putra-putrinya di pesantren untuk memperdalam ilmu agama, yang diharapkan dapat dijadikan modal bermasyarakat. Di pesantren santri tidak dibiarkan untuk membentuk karakternya sendiri, ada kyai, ustadz, dan ustadzah yang memiliki peran penting dalam membentuk perilaku santri.

 

Akan tetapi, dalam prosesnya tentu tidak selalu berjalan sesuai ekspektasi. Peraturan yang ditegakkan dengan tujuan mendidik dan mendisiplinkan santri tak jarang mengalami penyelewengan oleh beberapa oknum yautu sebagai ajang senioritas dengan cara menerapkan peraturan yang tidak mendidik bahkan menggunakan unsur kekerasan. Banyaknya jumlah santri dengan katrakter yang berbeda-beda serta pola komunikasi dan relasi kolektif yang cukup intens dalam ruang waktu yang sama menjadi hal yang perlu diperhatikan lebih detail agar tidak adanya normalisasi kekerasan. Sebagaimana beberapa kasus yang mencuat belakangan ini yang menjadikan banyak orang berasumsi buruk terhadap pesantren. Pasalnya bullying yang seharusnya tidak tercipta dilingkup pesantren malah semakin marak diberitakan. Bahkan tidak sedikit yang menjadi korban hingga nyawa tidak terselamatkan.

 

Perilaku bullying dapat disebabkan karena banyaknya waktu bersama dengan santri lainnya. Seperti yang dijelaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh Desiree (2013) dengan hasil penelitian bahwa ada beberapa perilaku bullying di pesantren dengan jenis bullying dalam bentuk verbal yaitu kata-kata kasar, ejekan, dan pengucilan. Kemudian didukung dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Ainy (2018) dimana dalam penelitiannya ditemukan bahwa 59% santri pesantren mengaku pernah menjadi korban bullying. Jika fenomena ini dinormalisasi, akan selalu ada korban-korban lain yang akan kembali didengar, sehingga menurunkan kepercayaan masyarakat untuk memondokkan anaknya di pesantren. Pakar psikologi menyebutkan bahwa tindak kekerasan siswa disebabkan karena adanya pola kebiasaan sikap senioritas yang membudaya. Selain itu, juga kurangnya pengawasan yang sistematis dari pengurus pesantren pada santrinya.

 

Kejadian meninggalnya santri dari Ponpes Al Hanafiyah Kediri, menjadi salah satu kasus baru dari maraknya kejadian perundungan yang dilakukan santri di Indonesia. Hal ini menjadi sorotan beberapa psikolog yang menyebut bahwa bullying ini terjadi karena adanya pola kebiasaan yang dilakukan dari sebelum-sebelumnya, yaitu adanya senioritas pada adik tingkatnya. Senioritas ini biasanya membudaya dalam diri, sehingga ingin melampiaskannya dengan pembalasan setimpal pada juniornya atau bisa saja sekedar meneruskan kebiasaan yang ada di lingkungannya. Dengan demikian, perlu adanya komunikasi serta interaksi yang baik, agar kejadian yang tidak diinginkan tersebut tidak lagi terulang. Asatidz atau pendamping sebaiknya mengedukasi para santri untuk menjauhi bullying dan saling menyayangi. Tujuannya agar tercipta ukhuwah serta kerukunan antar sesama. Sebagaimana hadits Nabi Saw yang artinya kurang lebih “tidak sempurna iman seseorang hingga yang bersangkutan sanggup mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Seseorang tidak akan mungkin mau dirinya susah, menderita, menanggung kerugian, apalagi celaka. Begitu pula, sebagai bentuk kecintaan terhadap sesama, semestinya orang lain pun tidak boleh menanggung perasaan yang ia sendiri membencinya itu.