Kepura-puraan yang Membinasakan

Termasuk “penyakit” yang sangat berbahaya dan dapat merusak moral generasi muda bangsa baik dalam ranah bersosial media maupun di kehidupan nyata adalah penyakit ingin diakui oleh sekitar atau selalu ingin terlihat. Sifat yang seperti ini selalu ingin menetapkan eksistensi diri. Berkeinginan orang lain mengetahui bahwa diri telah melakukan berbagai macam hal positif, telah mencapai prestasi tertentu, telah menjadi hebat dalam bidang tertentu dan seterusnya. Semua berdasar rasa ingin membuktikan yang tak jarang hanya terfokus pada rasa ingin “terlihat” daripada benar-benar “menjadi”.

 

Sehingga pada level tertentu sikap rendah hati, tahu diri dan menghargai orang lain berangsur-angsur hilang dari diri. Padahal pada hakikatnya terdapat dua karakter manusia yang jika salah satunya hilang dari diri maka kehormatan atau martabat seseorang akan hilang pula yaitu; menghargai dan tahu diri.

 

Ketika sifat bangga diri ini sudah bercokol kuat dalam hati, apapun yang dikerjakan oleh diri sendiri akan selalu terlihat benar dan apapun yang dilakukan orang lain yang bertentangan dengan pandangannya akan senantiasa terlihat salah. Kehidupan akan dipenuhi dengan kebohongan dan kepalsuan. Pandai menutupi aib pribadi, piawai dalam berkilah atau mencari alasan yang tepat yang dapat dijadikan pembenar atas segala yang dilakukan, tanpa ada rasa malu bahwa sebenarnya telah terlalu sering membohongi diri sendiri.

 

Mungkin bagi sebagian orang ini bukan suatu masalah yang besar, namun ketika diri sudah terlanjur terlalu sering mengejar eksistensi pribadi dengan standar penilaian orang-orang sekitar maka pasti akan melupakan jati diri sendiri, berbagai aktifitas terfokus pada mengejar pengakuan tanpa mempedulikan bahwa diri sendiri sedang terjerumus dalam kepura-puraan.

Semua akan berujung pada kehilangan jati diri, bergelimbang dalam sandiwara, lalai untuk terus belajar dan berfikir jernih, lupa membangun potensi dan hakikat hidup diri. Musibah terbesar bagi seseorang adalah ketidak sadaran diri bahwa sedang berada dalam musibah. Di mana pada waktu tertentu “bom waktu” yang sekian lama menggerogoti dapat meledak tanpa minta restu. Pada level tertentu pula kesulitan untuk sadar dan menemukan titik balik kemudian menerima semua yang ada dengan lapang dada adalah sesuatu yang nihil.

 

Diri akan kesulitan belajar dan mengakui bahwa pernah salah, pernah keliru karena tidak mampu objektif atau berprasangka baik terhadap sekitar, malah balik mencemooh dan memaki orang yang mengingatkan dan merasa paling benar. Haddzun nafs yang berarti selalu menganggap diri penting memang sumber dari berbagai permasalahan psikis dan sosial.

 

Jauh sebelum adanya media sosial atau pesatnya perkembangan teknologi informasi yang bagi sebagian kalangan disalahgunakan untuk ajang membanggakan diri atau pamer prestasi Rasulullah SAW telah memperingatkan akan bahaya membanggakan diri. Di mana beliau menyebutkan dalam suatu hadith bahwa terdapat 3 pilar utama sumber segala dosa, yaitu; Takabbur (sombong), Hasad (dengki), Tamak (rakus). Ketiga sifat ini mutlaq harus dujauhi oleh seorang muslim karena dapat mendatangkan malapetaka yang amat besar. Jika direngungi dengan seksama betapa membanggakan diri ini dapat menghantarkan seseorang terjerumus dalam tiga sifat tersebut.

 

Lantaran bangga diri seseorang akan senantiasa ingin memperlihatkan apa yang dia punya dan apa yang dia capai hingga dapat dilabeli sombong, lantaran bangga diri seseorang akan senantiasa ingin mendapatkan penghargaan hingga tak jarang jika tidak dihargai dia akan marah, dengki bahkan iri terhadap orang yang dihargai, lantaran bangga diri pula seseorang akan menjadi rakus karena terobsesi dengan tampilan luar yang harus terlihat rapi di hadapan penilaian orang sekitar hingga tak jarang menghalalkan segala cara dalam menggapainya.

 

Semua dapat timbul dari sifat bangga diri yang jarang disadari efeknya. Ketika bangga diri ini telah terlanjur menghujam  dalam hati maka esensi dari sifat kibr atau yang biasa disebut dengan sombong akan menjadi suatu hal yamg sangat biasa dalam kehidupan. Sombong berarti menolak kebenaran dan merendahkan atau meremehkan segala sesuatu. Naudzu billahi min dzalik.

 

Sekretaris Pesantren Kampus Ainul Yaqin UNISMA: Ustadz Thoriq Al Anshori, Lc., M.Pd.