Membumikan High Politics (Politik Ilahiah) Di Tengah-tengah Pesta Demokrasi

Setiap lima tahun sekali, Indonesia melaksanakan perhelatan besar-besaran berupa pemilihan umum, yang terdiri dari jajaran legislatif dan eksekutif negara. Agenda besar tersebut sering dikenal dengan ‘Pesta Demokrasi’. Banyak sekali hal-hal identik atau tradisi yang mewarnai di saat pesta demokrasi dimulai, seperti maraknya baliho-baliho yang terpampang di pinggir jalan. Baik jalanan yang dapat diakses banyak orang, maupun jalan-jalan rusak yang ada di pedesaan. Selain baliho-baliho yang terpampang secara massif, ada juga tradisi lain seperti maraknya pembagian sembako dengan logo partai tertentu, maraknya pengajian-pengajian umum yang dilatarbelakangi oleh calon tertentu.

 

Sayangnya, tradisi yang sudah disebutkan sebelumnya merupakan tradisi teknis dan segelintir dari banyaknya tradisi yang menjamur di negeri ini. Mungkin Anda sudah tahu apa yang Saya maksud. Tradisi sebenarnya yang secara konsisten ada dalam tahun politik adalah penyebaran hoaks, politik identitas, caci maki, saling menghujat, permusuhan karena berbeda pandangan, putusnya silaturahmi, dan tradisi-tradisi yang secara garis moral dan etik salah. Demikian ini, bukanlah hal yang remeh, sebab fenomena yang seperti tersebut merupakan salah satu indikasi dari perpecahan dan pertikaian yang berdampak pada jangka panjang.

 

Sebagai penyelesaian atas masalah yang menjamur di kultur masyarakat kita, maka perlu kiranya kiprah politik di dalam negeri ini ditingkatkan setinggi mungkin dengan perangkat etik hingga pada taraf High Politics atau Politik Ilahiah yang mana merupakan moral politik manifestasi dari keagungan sifat-sifat Tuhan. Kaitannya dengan hal ini, Imam Al-Ghazali memberikan penekanan etika-etika dasar kewarganegaraan pada seluruh lapisan masyarakat.

 

فيجب على الإنسان أن يزرع بذر الإحسان ، وأن ينفي عن نفسه العيوب الفاحشات ، والخطايا الموبقات ، لا سيما الملوك ؛ ليبقى بعدهم حسن الاسم ، وصالح الرسم.

 

Artinya, “Maka sudah selazimnya bagi seseorang (masyarakat sipil atau otoritas) untuk senantiasa menyebarkan kabar positif, mencegah untuk menyebarkan kabar kabar buruk serta kesalahan fatal beberapa pihak, apalagi pemerintah yang sah. Demi menjaga nama baik dan mempertahankan citra”. (Abu Hamid Al-Ghazali, At-Tabru Al-Masbuk fi Nashihat Al-Mulk, [Beirut, Dar Al-Kutub Al-’Ilmiah: 1988] halaman 44).

 

Kendatipun etika politik tidak tertulis dalam konstitusi, perangkat ini berguna untuk mengatur tatanan masyarakat agar terarah pada sikap-sikap beradab dan berbudaya. Baik itu politikus yang akan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang tertuju pada rakyat demi kesejahteraan, maupun masyarakat sipil yang menjalankan seluruh kebijakan mereka tanpa anarkis dan kekerasan.

 

Dalam konteks politik sekarang, yang mana merupakan tahun-tahun pemilu besar-besaran, etika politik sangat perlu dijadikan pedoman dalam melalui kontes demokrasi. Para politikus, selaku orang-orang yang akan dipilih sebagai pemimpin negeri ini wajib untuk berpendirian secara etik dalam mengikuti Pemilu. Begitu juga masyarakat sipil yang akan memilih tidak luput dari penanaman etika dalam berpartisipasi terhadap Pemilu. Maka idealnya, di dalam hiruk pikuknya Pemilu, penekanan terhadap etika politik ada pada dua sisi, yakni sisi politikus dan sisi masyarakat sipil.

 

Secara teknis, Syaikh Abi Ya’la memberikan arahan etika dalam berpolitik baik sisi politis (pihak yang akan dipilih sebagai pemimpin) dan sisi masyarakat sipil (pihak yang akan memilih). Adapun dari sisi politikus, Imam Mawardi berkata:

 

أن يكون على صفة من يصلح أن يكون قاضيا : من الحرية ، والبلوغ ، والعقل ، والعلم ، والعدالة

 

Artinya, “Bagi seseorang yang akan menjadi pemimpin, setidaknya memiliki beberapa karakter sebagai berikut: Bebas (merdeka), Cukup umur (baligh), Bernalar, Berwawasan, Adil”. (Abi Ya’la Muhammad bin Al-Husain, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, [Beirut, Dar Al-Kutub Al-’Ilmiah: 2000] halaman 20).

 

Seyogyanya, para politikus yang akan mencalonkan diri sebagai legislatif atau eksekutif misalnya harus memiliki sekurang-kurangnya karakter yang sudah disampaikan Imam Mawardi. Bagaimana mungkin seseorang yang akan menjadi pemimpin terbelenggu pada kepentingan-kepentingan tertentu sehingga ia tidak bebas dalam menentukan kebijakan. Bagaimana mungkin seseorang yang akan memimpin menjadi pantas ketika tidak memiliki koridor wawasan yang luas. Sekiranya karakteristik diatas, menjadi kriteria bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang ideal.

 

Jika dilihat dari dari sisi masyarakat, Syaikh Abi Ya’la mengistilahkan masyarakat yang memiliki syarat-syarat etik akan menjadi Ahlul Khiyar. Adapun syarat-syarat tersebut sebagai berikut: Pertama, Sifat Adil. Etika politik berupa adil yang beredar di tengah masyarakat hanya berkutat pada pemerintah, tidak sepenuhnya benar. Masyarakat sipil pun harus memiliki sifat adil dalam berpolitik. Misalnya dalam pelaksanaan Pemilu, masyarakat dituntut untuk adil dalam memilih para calon-calon pemimpin. Tidak hanya memilih karena satu sanak saudara, tidak hanya memilih karena satu identitas, tidak hanya memilih karena satu ormas. Masyarakat harus adil dalam memilih sesuai gagasan mengenai keberlangsungan negara kedepannya.

 

Kedua, Pemahaman terhadap seseorang yang pantas menjadi pemimpin. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, masyarakat sebagai pemilih harus memahami bekal dan gagasan apa saja yang dimiliki para politikus ketika mencalonkan dirinya. Bukan sembarang orang yang pantas untuk dipilih sebagai pemimpin, harus diseleksi dengan kriteria-kriteria tertentu.

 

Ketiga, Merupakan seseorang yang mampu mempertimbangkan sesuatu, orang yang bermoral, dan orang yang yang bijaksana dalam memilih pemimpin yang pantas. Seperti yang sudah dikatakan para guru, mau sebagus apapun pemerintahnya, kalau masyarakat nya bobrok menjadi percuma. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sipil pun harus memiliki etika dalam berpolitik. (Abi Ya’la Muhammad bin Al-Husain, Al-Ahkam As-Sulthaniyah, [Beirut, Dar Al-Kutub Al-’Ilmiah: 2000] halaman 19).

 

Demikianlah sedikit cara dalam membumikan High Politics atau Politik Ilahiah walaupun pada kenyataannya, penerapan etika dalam keberlangsungan politik di Indonesia masih belum begitu maksimal. Secara rutin setiap dilaksanakannya pesta demokrasi, pasti ada permasalahan yang bersangkutan dengan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) dikarenakan kepentingan politik dengan format yang berbeda. Akan tetapi, bukan berarti Indonesia tidak mampu untuk terhindar dari perpecahan hanya karena berbeda pandangan politik. Para ulama sudah memberikan arahan bagaimana etika politik akan menuntun kewarganegaraan pada level kehidupan beradab dan berbudaya. Tinggal bagaimana para politisi dan masyarakat Kita mampu menerapkan etika politik secara baik atau tidak.

 

Penulis: Shofi Mustajibulloh, S.M (Angg0ta Kurikulum & Pengajaran)

Editor: M. Indra Riamizad Raicudu (Anggota Humas, TIK, & Alumni)