Sebuah desa yang aman & damai bak surga di dunia, The Lost Island. Masyarakat hidup tentram, Gemah Ripah loh Jinawi. Nah ini lah Atlantis lokal, Meduran. Mereka disibukkan oleh urusan remeh-temeh hingga tak karuan rumitnya. Hidup sederhana bergelimang tawa pun harta warisan orang tua, rukun satu sama lain menjadikan ciri khas dari orang-orang desa yang lugu dan polos.
Ketika ayam jantan berkokok, mentari mulai malu-malu menampakkan gemerlap sinarnya, tanda penduduk setempat akan memulai aktivitasnya dengan giat, sigap, dan semangat. Orang-orang itu pergi ke tempat sumber rejeki yang dipunyainya. Terkadang suara-suara pengais rejeki di pojok persimpangan pasar sangat menakjubkan gembiranya. Tinggi matahari lebih dari tiga tombak, suara kerbau pembajak sawah bengkok menguap ingin beristirahat, dalam batinnya. Kerbau juga makhluk Sang Pencipta, pasti juga butuh istirahat. Demikian pula dengan Pak Bono yang ingin istirahat dari penganggurannya setiap hari. Tapi bagaimana cara pengangguran beristirahat. Mungkin ikut mewakili suara rakyat dipanggung perpolitikan terdengar seru dan prestisius.
Penduduk tidak akan pulang sebelum matahari bersembunyi di balik lautan. Setiap hari hal tersebut dilakukan dengan tanpa paksaan. Jika sudah lewat petang, waktu mereka digunakan untuk bersantai-santai sambil minum kopi bercakap-cakap dengan keluarganya, membicarakan apa yang akan dilakukan esok harinya.
Keesokannya masyarakat Meduran memulai aktivitasnya seperti biasa, saling tegur sapa setiap bertemu teman senasib, sejalan, sepengais rejeki. Mereka berpisah dan bertemu teman senasibnya di warung-warung pojok pasar, tempat nongkrong sekaligus markas besar bagi orang yang belum mendapat kerja,dan jika ada informasi penting disampaikannya informasi itu jika bertemu teman-temannya di waktu petang. Kecuali Pak Bono yang tidak pernah keluar rumah. Ketika keluar rumah ia selalu salah waktu. Nasib belum memihaknya dengan baik dan tepat.
Bagi orang yang tidak sempat ke warung kopi pada hari-hari sebelumnya, maka pada hari Minggulah mereka mendapatkan info-info mulai hari Senin sampai Sabtu, bergegas mereka ke warung Suwung Awang Uwung yang merupakan salah satu warung pojok pasar yang dipercaya mempunyai berita-berita yang autentik, kompleks dan komprehensif. Mulai urusan hubungan kamar, sekolah, pekerjaan, politik sampai urusan kehidupan akhirat. Mulailah mereka berdiskusi membentuk regu-regu sesuai dengan minat dan topik yang sedang hot news yang mereka inginkan. Disinilah elemen-elemen masyarakat berkumpul dan disini pula para pengamat pengamat politik tanpa ijazah perguruan tinggi saling tarik urat leher, berbicara lebih pintar daripada para politisi bau bawang yang biasa muncul di televisi. Hingga dimana orang orang yang selalu dilecehkan dan tak dipedulikan mendadak menjadi bintang artis. Berbicara keparakan di dunia modern ini hampir semua kepala ahli berbagai bidang. Entah apa ada hubungannya dengan Tom Nichols dengan karyanya Matinya Kepakaran, atau pengetahuan yang integral non dikotomis.
Namun, ketentraman itu tiba-tiba pecah dikarenakan sebuah umpatan pengunjung merangkap ketua pentolan salah satu regu komunal itu di warung kopi itu, mengakibatkan papan catur yang hampir skak mati, terpelanting dan pemainnya yang tengah menyeruput kopinya dengan syahdu tersiram kopi panas itu. Melihat kejadian itu ketua pentolan tadi merengek mohon maaf dan kembali menyalak singkat mengenai, perdana menteri yang secara terang-terangan menggelapkan dana pembelian tanah makam, bak gerhana matahari yang kesasar menuju bulan.
***
Segelintir pengunjung warung kopi bergeleng kepala, terperanjat emosi. Padahal sebelumya tidak pernah ada kasus seperti itu. Ia begitu pandai bersilat lidah tipikal politikus tak berintuisi. Ingin rasanya pindah ke negeri sebelah andai saja tidak rumit.
“Ahhh!!!!!, belut dalam oli” sahut Djuari di pojok sambil membanting tingwe.
“Ya…. begitulah Kang, peradilan di negeri kita, di balik itu pasti sudah ada Kong Kali Kong antara terdakwa dengan hakim”, ujar pemilik warung kopi.
“Sssttttt…sssttt….mari dengarkan dulu omong-omong kosong yang nyaring iramanya itu…”, tambah Pakdhe Karmun, sedari tadi mendengarkan dengan saksama.
Orang-orang kampung yang melek politik itu dengan antusias mengamati arus persidangan live di tivi.
“Anda tau mengapa anda diadili?”, Semprot Hakim, dengan pencitraan picingan mata, berkedip sebelah, yang sebelah merem.
“Tentu tidak tau lah. Kalaupun Saya mengetahuinya, tetap saja tidak tau dimana titik terangnya. Tiba-tiba rumah digrebek orang-orang berpakaian biru!. Ku kira rumahku sedang terbakar-bakar”, Perdana Menteri berkicau laksana burung Murai Batu.
“Betulkah Anda tidak tau atau Anda masa bodoh dengan masalah ini?”
”Aku taunya massa jenis bukan masa bodoh!, Aduh!!, kau ini ngeyel!, dibilangi tak tau ya tak taulah….”. PM mulai geram dengan Hakim.
Skenario yang telah disusun oleh mereka berdua tidak seperti yang mereka jalankan sekarang. Hakim takut skenario bunglonnya tercium kucing belantara. Tapi ia juga bimbang antara lurus atau time is money.
“Anda sekarang terjerat kasus penyelahgunaan dana warga negara, K O R U P S I”, Hakim dengan ejaannya yang fasih.
“Apa yang Saya salah gunakan? Korupsi apa?. Saya bukanlah keluarga yang terhormat Jono apalagi ikut-ikut rencana pembuatan kartu modern yang canggih itu”, Raung PM seraya mata membelalak.
“Anda telah terbukti menggelapkan dana pembelian tanah makam, Saudara”, Hakim menjawab dengan halus sehalus lisus.
“Apa Anda mengerti apa itu korupsi? Coba jelasken pada Saya ini. Siapa tahu yang mulia hakim cuma tahu kulitnya, bukan isinya”, PM menjawab dengan maksud mengulur ulur waktu lalu terdiam macam patung The Thinker.
Tanpa disadari Jaksa Penuntut menjawab dengan bijaksana “Korupsi itu sama seperti mencuri, Saudara”
“Ohh! jelas beda! korupsi itu tak sama dengan mencuri, kalau memang korupsi dan mencuri itu sama Saya pasti udah bonyoklah…”
“Macam mana Anda ini beda kata juga beda arti lah”, sambung PM dengan kalem.
***
Suasana di warung kopi yang hening tiba-tiba dikagetkan oleh gumaman bapak-bapak entah siapa namanya, “Dari tadi mbulet aja sidangnya…”
“Iya Pak, dari tadi mbulet…saja, kayak benang bola layangan anak-anak”, jawab mbak Jaitun si pemilik warung kopi.
“hahaha…mungkin mereka dulu tak pernah mainan layang-layang”, Pakdhe Karmun tertawa, namun terhenti sebab sebuah sandal melayang dari pojok warung mengenai tengkuknya disusul gemuruh “Buu..”,dan kritikan ”Kalau mau ngelawak, sana ke pasar malam pak jadi badut sirkus jangan disini..nggak lucu pula!!”
Setelah karmun meminta maaf pada semua yang ada di warung kopi kembali menyimak tayangan tivi.
“Secara riilnya itu sama saja artinya dan perilakunya, kalau-kalau menurut anda bagaimana?, coba jelaskan”, Hakim mencoba menjawab.
“Mencuri itu mengambil sesuatu bukan miliknya yang tak ia punyai untuk mendapat sesuatu yang ia inginkan dan pelakunya rakyat biasa”
“Tunggu…!Tunggu….”, hakim berdiri menuju tasnya dan mengambil sebuah buku(buku apa??masih misteri..)
“Ya…silahkan diteruskan”
“Kalau korupsi itu menyimpan sesuatu dengan jumlah yang besar tidak jelas siapa yang punya dan pelakunya pejabat-pejabat. Oleh karena itu bapak tak bisa menghukumi sama artinya”, Jelas PM.
“Emm….begitu yah, bagus penjelasan Anda bisa diterima”, Hakim dengan suara rendah
“Jadi….anda tak bisa menghukum Saya dengan hukuman yang berat, kan Saya cuma menyimpan dan berdoa agar bisa saya miliki”.
“Saudara Hakim….Saya harap anda memutuskan sesuai vonis yang telah saya ajukan,dan menghukum cecunguk satu ini jangan sampai anda tertipu oleh bualannya tadi”, teriak Jaksa penuntut.
Sang hakim manggut manggut mempertimbangkan lalu entah kenapa tiba-tiba Hakim meraung,“Persidangan di cukupkan sampai disini saja”
Pengunjung warung kopi geram-kesal akibat keputusan hakim. Satu persatu mereka mulai tak kasat mata di warung kopi.
Akhirnya Karmun di warung kopi mematikan tivi. Belum ada kejelasan hasil persidangan hari itu. Para pengunjung warung kopi pun berangsur-angsur menghilang. Juga tidak ada lagi kejelasan
Berbeda dengan Pak Bono yang kini sudah mulai merakyat membuka diri untuk menaiki panggung politik dari kalangan proletar. Karmin, Djuari, dan kawan-kawan menjadi tim sukses yang mampu membawanya menduduki jabatan ini. Harapan masyarakat dengan adanya wakil dari kelas bawah dapat memegang amanah dengan baik tidak seperti Perdana Menteri yang ditayangkan suatu hari dulu.
Betul memang, Pak Bono memegang amanah. Hingga ia sudah tak betah lagi dengan banyaknya tawaran dari teman baiknya agar tidak selalu memikirkan banyak orang. Tetapi yang paling penting adalah kepentingan pribadi Bono.
“Pak Bono, sudahlah ini terima saja. Anggap saja ini sebagai ongkos semangat dan amanah untuk bapak selama ini”
“Tidak!, Tidak!, ya tidak” teriak Pak Bono suaranya keras dan tegas.
“Ada apa Pak?, ada masalah Apa?” Suara istrinya yang membangunkan Pak Bono seketika itu.
“Tidak bu”
Ternyata Pak Bono hanya bermimpi menjadi wakil rakyat, duduk manis dipanggung perpolitikan dengan menjadi seorang yang jujur, amanah, dan tanggungjawab. Namun bagaimana lagi, biarlah sudah yang terlanjur seperti yang tertayang pada berita lalu. Tidak semuanya seperti itu.
Penulis: Anggota Humas, TIK, & Alumni PKAY UNISMA: M. Indra Riamizad Raicudu